Bagaimana?
Bagaimana?
Ketika aku berada pada usia belasan tahun, banyak hal yang ingin ku lakukan.
Banyak cita-cita yang ingin ku gapai, tanpa ku harus berpikir panjang, benarkah aku ingin?
Seketika waktu mencoba dan berusaha mengajarkan aku untuk berpikir jernih mengenai hari itu. Aku berhenti dalam sebuah kebohongan reka waktu yang tidak pernah aku harapkan. Pupus di tengah jalan mimpi dan harapan yang pernah aku bangun.
Aku hidup dalam keluarga yang dikatakan cukup, aku bisa dan aku cukup mampu melakukan apapun yang aku mau.Tapi, sekali lagi aku bohong dalam keadaan. Aku terjerat dalam waktu yang mengikat, seakan tiap hari yang silih berganti mengajarkan aku sebuah kejenuhan dalam sebuah ketidakmampuan hati. Setiap sudut dinding menjadi bukti air mata yang selalu terjatuh. Aku pikir ini akan berubah ternyata, tidak. Dan sekarang mimpi itu berubah.
Sejak kejadian itu, aku hanya menyalahkan diriku atas itu. Tak ada yang tahu, hanya aku dalam diamku, yang semakin dalam aku terjatuh. Sering kali hati ini menjerit minta tolong, tapi aku malu untuk mengakuinya, aku takut mereka menjauhiku. Hingga detik ini pun hanya aku penyimpan rahasia kecil itu.
Kelahirannya membuat warna baru dalam sejarah hidupku. Kelahirannya membuat aku menjadi pribadi yang sekian untuk dicintai. Aku tak pernah mengatakannya, karena setiap kali aku mengatakannya hanya air mata yang selalu menetes. kata cacian yang ku dengar, dan pengakuan lain yang membuat aku sakit hati. Mungkin benar, aku terlalu ego dalam menjalani kehidupanku. Tapi, apakah kau tahu, aku hanya ingin semua memandangku untuk sebentar saja, karena setelah itu dia yang sejatinya mengambilmu dariku.
Entahlah, setiap kali aku merasa aku tidak sanggup lagi, aku mencoba berpura-pura untuk tegar. Aku mencoba untuk berbicara kepada sang waktu, “Semua kan jadi lebih baik-baik saja”. Tapi semua bohong. Waktu berbohong, dia diam, semua tidak jadi berubah!
Aku tahu aku kuat berlari untuk katakan aku mampu menempuh garis itu. Ini bukan estafet, karena ku berjalan sendiri. Hingga aku memilih pergi, untuk tidak melihatnya. Ternyata benar, langkahku yang ku kira sangat jauh, ternyata tak cukup jauh saat mereka kembali menemukanku. Aku terharu, namun dalam perkataan haruku aku tahu dan terungkapkan kata “Mengapa memilih untuk tetap di sini? Tidak bisakah lebih jauh agar kami takkan menemukanmu?” Sekali lagi, dan sekian kalinya, aku benar-benar sakit.
Mereka menarik tanganku, dengan jeritan aku hanya berkata “Sakit” hingga ku menangis. Namun, ku pikir ia mengerti arti jerit tangisku, dia berhenti menarikku dan seketika melepas tanganku, dan dengan tatapan tajamnya dengan rasa benci menarik rambutku, aku hanya pasrah. Aspal abu-abu kini mencoba menjadi teman yang merasakan sakitnya tubuh dan hati ini. Tangan, punggung hingga kakiku pun menjerit kesakitan. Dengan darah yang menetes ku pikir mungkin cukup membalaskan rasa malunya terhadap orang banyak yang melihatnya.
Setiap hari, aku ada seperti sebuah mimpi. Hanya mimpi. Aku benci ketika aku berpikir aku ada, setiap ketidakmampuanku selalu dibalas dengan pukulan rotan hingga sakit yang merasuki tulangku menjadi bebal akan penyiksaannya. Aku tidak pernah tahu apa, dan mengapa mereka bisa begitu benci padaku.
Tunggu kelanjutannya, ya....
Next?
BalasHapus